Bolehkah Berbeda Pandangan Politik?

Penulis : Diana Setiawati Nur ani (Mahasiswa Fakultas Hukum UNMUL)
Baru-baru ini, jagat maya dihebohkan dengan kasus Tom Lembong yang diduga melakukan korupsi dalam impor gula. Kasus ini menimbulkan perdebatan yang cukup panas, terutama mengenai prosedur penetapan tersangka yang seharusnya berdasarkan pada minimal dua alat bukti. Sesuai dengan ketentuan Pasal 184 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 (KUHAP), penetapan tersangka harus dilengkapi dengan pemeriksaan terhadap calon tersangka.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 14 KUHAP, penyelidikan didefinisikan sebagai serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana. Hal ini bertujuan untuk menentukan apakah dapat dilakukan penyidikan menurut hukum yang berlaku. Dalam konteks ini, pertanyaan muncul: apakah penetapan Tom Lembong sebagai tersangka benar-benar berdasarkan hukum murni (legal reason)? Proses yang terkesan dipaksakan dan penuh nuansa politik mengundang skeptisisme.
Kebetulan, pada hari yang sama setelah selesai pemeriksaan, Tom Lembong langsung ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan. Kejadian ini semakin menambah keraguan publik terhadap transparansi dan keadilan dalam proses hukum.
Dari sini, kita perlu mempertanyakan lebih dalam tentang prinsip perbedaan pandangan politik. Apakah dalam konteks ini, kita bisa memisahkan antara hukum dan politik? Atau justru politik berperan dominan dalam mempengaruhi keputusan hukum? Perbedaan pandangan politik tidak seharusnya menjadi alasan untuk menilai atau menghakimi orang lain, melainkan bisa menjadi sarana untuk diskusi dan menemukan solusi bersama. Dengan demikian, perbedaan pandangan politik harus dipandang sebagai bagian dari dinamika demokrasi yang sehat.
Melihat perkembangan situasi, banyak pihak yang menganggap bahwa penetapan tersangka Tom Lembong tidak hanya mencerminkan proses hukum, tetapi juga sebagai alat politik untuk menyingkirkan lawan-lawan politik. Dalam era digital ini, informasi dan opini bisa menyebar dengan sangat cepat, menciptakan lingkungan yang penuh dengan spekulasi dan teori konspirasi. Banyak netizen mulai mempertanyakan apakah langkah hukum ini murni bertujuan untuk menegakkan keadilan ataukah ada agenda politik di baliknya.
Dukungan dan penentangan terhadap tindakan hukum yang diambil terhadap Tom Lembong juga menunjukkan kerentanan masyarakat terhadap polarisasi politik. Sejumlah pengamat menyatakan bahwa seharusnya kasus ini tidak hanya dilihat dari kacamata hukum, tetapi juga dari sisi etika dan moral. Hal ini penting untuk menjaga integritas lembaga hukum serta kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.
Dalam dunia yang semakin kompleks ini, perbedaan pandangan politik seharusnya dipandang sebagai suatu kekuatan, bukan sebagai kelemahan. Diskusi yang sehat dan penuh rasa saling menghargai dapat menjadi jembatan untuk mencapai kesepakatan, sekaligus menjadi alat untuk mendewasakan politik di Indonesia. Kita perlu menyadari bahwa perbedaan adalah hal yang wajar dan dapat dijadikan landasan untuk menciptakan dialog yang konstruktif.
Dengan demikian, dalam kasus Tom Lembong, sudah saatnya kita berupaya untuk menjadikan perbedaan pandangan politik sebagai sarana pembelajaran, sehingga ke depannya, kita dapat menghadapi tantangan politik dengan cara yang lebih bijak dan berkeadilan.




